fbpx

The Toxicity of Cancel Culture

by Yustika Maharani
Published: Last Updated on 1.4K views

Di awal tahun 2014, pada acara “Love and Hip-Hop: New York”, lahirlah sebuah istilah baru yang hari ini mempunyai power over reality yang begitu kuat. Istilah itu adalah “Cancel”. Memang, kata “cancel” ini sendiri sudah ada selama ratusan tahun, namun, beberapa tahun terakhir ini, kata tersebut memiliki arti yang baru. 

Photo by whoislimos via Unsplash

 

Cancel” atau “cancelling” adalah sebuah aksi dimana sekelompok orang secara serempak memutus tali dukungan terhadap seorang individu/kelompok (mainly, famous ones). Karena cancelling ini sudah sangat sering terjadi dan seringkali terjadi secara massal, kegiatan ini pada akhirnya menjadi sebuah kultur baru yang dinamakan Cancel Culture.

Cancel Culture memiliki beberapa sisi dan efek positif. Diantara lainnya adalah:

  • Memberikan kaum minoritas atau yang terpinggirkan sebuah andil dalam mencari keadilan di saat sistem keadilan gagal.
  • Dapat membungkam seorang individu atau suatu kelompok yang aksi-aksinya secara terus-menerus dapat menimbulkan kerugian. 

Namun, sisi positif dari Cancel Culture ini enggak berbanding lurus dengan sisi negatifnya.

Pada awalnya, kegiatan cancelling terlihat seperti kegiatan yang memang baik dan diterima oleh semua kalangan karena dianggap sebagai gerakan pencarian keadilan bagi mereka yang dirugikan. Mulia, bukan? Sayangnya, seiring berjalannya waktu, cancelling berubah menjadi kegiatan yang begitu mirip dengan bullying, dan kita semua tahu bahwa bullying adalah kegiatan yang enggak bisa dibenarkan.

Bagaimana cancelling bisa jadi sama dengan bullying? Let’s have a look at the points below.

 

  • Shame.

Mayoritas orang-orang yang melakukan cancelling terhadap seseorang melakukannya dengan cara mempermalukannya. Dengan cara mempermalukan ini, korban cancel culture akan secara sengaja disingkirkan dari kelangsungan sosial.

  • Pile-on Effect

Dalam sekejap, korban cancel culture dapat diserbu oleh ratusan bahkan ribuan cercaan. Hal ini akan menyebabkan korban merasa seperti seluruh dunia membencinya. 

  • No forgiveness

Cancel culture enggak memberi ruang untuk diskusi ataupun permintaan maaf. Sebuah permintaan maaf yang disampaikan secara begitu cepat akan dianggap enggak tulus, dan permintaan maaf yang disampaikan terlalu lama akan dianggap sebagai sebuah paksaan.

  • Damage is bigger than the wrongdoing at issue.

Efek dari Cancel Culture ini adalah sama dengan efek bullying. Korban akan mengalami gangguan cemas, depresi, dan seringkali meningkatkan suicidal tendencies-nya.

 

Everyone is a target despite all the good deeds you did. Semua orang bisa menjadi target cancelling, mau orang itu adalah seorang dermawan, religious figure, atau orang-orang baik lainnya. Begitu orang tersebut melakukan sebuah kesalahan, baik yang disadari atau enggak, besar atau kecil,  orang tersebut akan otomatis diserang cancel culturedespite their good deeds. 

Cancel Culture ini enggak kenal period of validity. Seseorang bisa saja menulis sebuah tweet yang menyinggung di tahun 2011, dan fast forward pada tahun 2021, orang tersebut tetap diserang walaupun ia sudah berubah menjadi seorang individu yang baik dan/atau enggak bermasalah dalam rentan waktu 10 tahun tersebut. 

Sangat disayangkan, Cancel Culture yang sering terjadi akhir-akhir ini justru mendorong jatuhnya moral. Para pelaku cancelling akan merasa bahwa aksi bullying yang terjadi itu benar dan diterima oleh kalangan sosial. Hal ini akan mendorong para pelaku untuk terus melakukan bullying yang secara lanjut dapat menciptakan behaviour dan/atau mental mindset  yang buruk, di antara lainnya adalah:

 

  • Schadenfreude

Kondisi dimana seseorang akan merasakan kesenangan dan/atau kepuasan saat menyaksikan kesusahan, kegagalan, kesalahan, dan/atau penghinaan orang lain.

  • Being Dismissive

Kondisi dimana seseorang akan menganggap orang lain enggak penting untuk diberi perhatian yang serius; enggak acuh.

 

Cancel Culture juga dapat berpengaruh pada bystanders (mereka yang hanya menyaksikan). Bystanders akan termotivasi untuk mengikuti perilaku para pelaku cancel culture, dan selain itu, cancel culture juga dapat menimbulkan rasa cemas yang berlebih pada bystander. Mereka akan takut untuk melakukan apapun karena ancaman cancel culture yang menghantui mereka. Kembali lagi ke efek bullying, bystanders juga dapat mengalami efek depresi dan peningkatan suicidal tendencies.

In a compassionate and fair world, kita ingin semua orang memiliki mental health yang baik, karena dengan mental health yang baik, individu-individu yang bermasalah dapat memperbaiki diri sendiri dan menjadi seorang individu yang positif, dan inilah yang cancel culture enggak bisa berikan.

“Good mental health depends on flexibility, on compassion, and on understanding. It relies on apologies and forgiveness, and (like any good penal system), sees mistakes as an opportunity not for punishment, but for reform.” – Silverton, 2021.

Sebuah kasus nyata yang dengan baik menjelaskan statement di atas adalah kasus yang baru-baru ini terjadi:

Seorang rapper dengan nama panggung DaBaby secara enggak sadar mengucapkan hal yang menyinggung kaum LGBT+. Setelah ia menerima serangan cancel culture, ia menyadari bahwa apa yang telah ia ucapkan tersebut adalah salah dan menyinggung. Enggak lama setelah ia menyadari hal tersebut, ia meminta maaf pada platform Instagram atas kesalahan yang sudah diperbuat. Sayangnya, para pelaku cancel culture itu enggak menerima permintaan maaf rapper tersebut dan enggak henti-hentinya menyerang sang rapper. Beberapa hari kemudian, DaBaby menghapus permintaan maafnya dan menulis pesan baru yang justru lebih lanjut menghina kaum LGBT+ ini. 

Apa yang terjadi pada kasus tersebut? Para pelaku cancel culture enggak menerima maaf si korban dan enggak memberinya ruang untuk berdiskusi dan/atau untuk memperbaiki diri. Serangan yang terus menerus dilontarkan terhadap korban membuat korban merasa bahwa dunia sudah terlanjur benci dengannya, dan enggak ada gunanya jika ia memperbaiki diri. Alih-alih merubah seseorang menjadi lebih positif, yang sebaliknya lah yang terjadi.

Photo by Eutah Mizushima via Unsplah

 

Cancel Culture menciptakan sudut pandang yang sempit dan terlalu sederhana. Para pelaku cancel culture akan menganggap seseorang enggak akan lebih baik dari kesalahan yang orang tersebut telah perbuat. Enggak ada ruang untuk ambiguitas, dan semua harus either black or white.

Daripada Cancel Culture, ada sebuah aksi yang mirip yang sebenarnya sudah lama ada namun lebih baik, yaitu Call Out Culture. Jika Cancel Culture menyalahkan keseluruhan individu dan menyingkirkannya dari kelangsungan sosial, Call-Out Culture hanya menyalahkan kesalahan, bukan individu secara keseluruhannya, dan Call-Out Culture memberi ruang untuk diskusi dan perbaikan.

On the whole, Cancel Culture bukanlah kultur yang sepenuhnya baik dan menguntungkan, dan jika kamu ingin berpartisipasi, ingatlah untuk enggak melakukan bullying, dan buka lah ruang untuk diskusi. Broaden your worldview, and the world will become better and more compassionate where people can evolve into their better self.

Source(s):

Schadenfreude. (2015, August 21). Good Therapy. https://www.goodtherapy.org/blog/psychpedia/schadenfreude

Silverton, L. (2021, March 5). All The Reasons Why Cancel Culture Is So Toxic For Our Mental Health. Vogue. https://www.vogue.co.uk/beauty/article/cancel-culture-toxic-for-mental-health

Hassan PhD, S. A. (2021, March 23). Why Cancel Culture By Anyone Is Harmful and Wrong. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/freedom-mind/202103/why-cancel-culture-anyone-is-harmful-and-wrong

Toler, L. (2021, April 30). The Mental Health Effects of Cancel Culture. Very Well Mind. https://www.verywellmind.com/the-mental-health-effects-of-cancel-culture-5119201

Elder, S. (2021, August 9). DaBaby deletes apology to LGBTQ+ community from Instagram. Fader. https://www.thefader.com/2021/08/09/dababy-deletes-apology-to-lgbtq-community-from-instagram

Affiliate Link:

More Reviews You'll Love